Free Solo (2018) Documentary Movie

Free Solo Film


Apa yang muncul dalam benak Anda, ketika melihat tayangan seorang pendaki tebing tidak menggunakan tali pengaman? Dahulu, saya berpikir kalau tayangan seperti itu hanya fiktif belaka. Dibuat di studio dengan bantuan layar hijau sebagai latar. Kemudian diolah kembali menjadi seolah-olah berada di atas tebing. Menapaki jalur datar menjulang tinggi. Tanpa rasa takut akan kematian yang tengah menanti. 

Wajar jika banyak orang berpendapat bahwa orang seperti Alex Honnold pasti tidak waras. Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa dia hanya mencari ketenaran. Bahkan, dianggap hanya ingin membunuh dirinya sendiri dengan cara yang aneh. Cukup banyak yang menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh Alex adalah hal yang dilakukan bagi orang yang ingin mati dengan sia-sia.

Kehidupan Alex Honnold Sang Free Solo

Semenjak usianya 19 tahun, Alex mengakui bahwa dia sudah tinggal dalam mobil van dan merasa nyaman di dalamnya. Ketika ayahnya meninggal, dia harus putus sekolah. Kemudian, hidup dari uang asuransi yang ditinggalkan sang ayah. Kehidupan yang penuh dengan pengiritan demi pengiritan dijalani Alex. Dengan mobil vannya itulah dia mengelilingi banyak tempat. Mendaki beberapa tebing yang terjangkau olehnya. Sambil menikmati kehidupan yang menawarkan banyak hal tak terjangkau olehnya.

Free Solo adalah istilah yang disematkan bagi mereka yang mendaki tebing tanpa menggunakan tali pengaman. Berbekal tangan yang disematkan ke dalam lubang tebing. Serta kekuatan kaki dan kejelian dalam memutuskan pijakan selanjutnya. Tentunya, saat melihat tayangan di National Geography berjudul Free Solo. Yang menyeritakan kehidupan Alex Honnold ini membuat saya sebagai penonton merasa keringat dingin. Takut, jikalau tayangan tersebut merekam kematian seseorang saat melakukan Free Solo.

Free Solo Di El Capitan Vertical Rock

Penulis buku biografi tentang Alex Honnold pernah bertanya. Apakah dia pernah merasa takut? Tentu. Alex mengatakan bahwa dia kerap meragukan dirinya saat hendak mendaki sebuah tebing. Namun, dia mengakui, bahwa ketakutan terbesarnya adalah ketika berhadapan dengan El-Capitan. Sebuah tebintlg yang menjulang tinggi dengan permukaan teramat datar. Tingginya 3600 kaki dan termasuk lebih tinggi dari menara kembar di Malaysia.

Bisa dibayangkan betapa mengerikannya mendaki tebing ini tanpa alat bantu. Dalam tayangan ini, kehidupan Alex disoroti. Sebelum dia mencoba mendaki El-Capitan, kita akan diajak untuk berkenalan dengan kehidupannya. Di masa lampau, Alex hidup di tengah keluarga yang bahkan tak pernah mengajarkannya apa itu cinta. Ayahnya seorang pemurung yang mengajarkannya mendaki untuk pertama kalinya. Kedua orangtuanya sering bertengkar. Hingga kemudian mereka bercerai, musim panas berikutnya sang ayah meninggal dunia.

Tebing El capitan memiliki beberapa zona berbahaya. Tak hanya bentuknya yang terjal. Tempat ini pun hanya menyediakan dua lokasi untuk beristirahat dalam waktu singkat. Lokasi pertama cukup jauh dari daratan. Namun, letaknya cukup dekat dengan lokasi kedua. Ada beberapa zona berbahaya yang disertakan sebagai informasi bagi para pendaki atau Free solo seperti Alex.


  • Stoveleg Crack : tempat ini berbahaya karena banyak bebatuan yang sering jatuh melewati celah ini.

  • King Swing : lokasi ini disinyalir merupakan tempat yang paling banyak memakan korban. Karena, bentuk pecahannya ini terbilang cukup sulit.

  • Camp : di sini, cuaca cukup terbilang ekstrim. Udara akan berubah sangat drastis dan kecepatan angin bisa sangat membahayakan para pendaki.

Hubungan Alex Dan Ayahnya

Kecintaan Alex mengunjungi banyak tempat untuk mendaki. Sepertinya menurun dari sang Ayah yang memang gemar berjalan-jalan. Meski tidak mendaki gunung atau tebing. Tapi, hobi travelingnya ke seluruh dunia ini sama dengan kegemaran sang Ayah. Menurutnya, jika sang Ayah masih hidup tentu akan merasa bangga dengan apa yang dia lakukan. Meskipun di mata Alex, pencapaiannya ini tak ada apa-apanya di mata sang Ibu.

Keluarga Alex ini seperti hubungan keluarga yang kurang menyajikan cinta di dalamnya. Meskipun ditampilkan senyuman lebar pada setiap foto masa kecilnya. Tapi, sang Ibu pun mengakui kalau hubungannya dengan ayahnya Alex kurang hangat. Sang Ayah selalu murung dan tampak tidak semangat dalam menjalani hidup. Alex pun mengakui, di usia 23 tahun, dia belajar bagaimana memeluk dengan hangat. Juga, dia tak memercayai hubungan percintaan.

Alex mengakui kalau dia tak pernah serius dalam menjalani hubungan percintaan. Baginya itu hal yang membuang waktu. Sementara dia hanya ingin fokus untuk mencapai apa yang diimpi-impikan. Apalagi, Alex terbilang lebih senang menyendiri dan tak suka berbincang dengan orang lain.

Ketika diminta berbicara di depan kelas untuk memotivasi anak remaja di sebuah sekolah. Alex berkata kalau dia tak nyaman dan gugup berbicara di depan banyak orang. Dirinya mempresentasikan kegiatannya dan bagaimana bisa menjadikan hobi panjat tebingnya itu menjadi pekerjaan.

Apakah Alex Memiliki Keabnormalan?

Apakah Alex memiliki rasa takut? Seseorang pernah bertanya padanya. Dan dijawab dengan santai, "tentu saja". Tapi, dari apa yang dia lakukan, banyak orang tak memercayai bahwa dia punya rasa takut. Hingga kemudian tercetuslah keharusannya untuk memeriksa otaknya. Hasilnya cukup mengejutkan, karena ukuran amigdalanya cukup jauh dari posisi orang pada umumnya.

Ini karena selama hidupnya Alex tidak pernah mau mengurusi apa kata orang. Dia memang tampak seperti orang yang tak memiliki emosi. Datar. Menjalani hidup secara teratur, bangun tidur satu menit sebelum alarm berbunyi di pagi hari. Menikmati makanan sehat. Berolahraga. Dan sepenuh hidupnya dihabiskan dengan berada di atas tebing atau di dalam vannya.

Meski begitu, hasil dari MRI otaknya ini bukan sesuatu yang buruk. Hanya saja menjadi sebuah jawaban mengapa Alex seolah tidak memiliki ketakutan seperti orang kebanyakan. Beberapa mengatakan, kondisi seperti Alex hanya terjadi pada beberapa orang saja. Kondisi amigdala pada otak berfungsi untuk mengontrol emosi pada manusia. Karena kehidupannya yang jarang menghabiskan waktu dengan banyak orang. Cenderung cuek. Menjadi jawaban akan kondisinya.

Menurut Tommy, kebiasaan Alex yang jarang memiliki hubungan serius dalam percintaan yang membantunya tetap fokus saat mendaki. Dia berpendapat, kalau hubungan serius bisa membuat Alex kehilangan konsentrasi saat harus membuat keputusan yang besar bagi hidupnya.

Ada Beberapa Alasan Kenapa Saya Suka Film Dokumenter Ini

1. Saya dikenalkan pada kegiatan alam yang ternyata nyata bernama Free Solo. Apa yang ditampilkan di tayangan televisi itu nyata adanya.

2. Free Solo bukanlah orang-orang yang tidak memiliki semangat hidup. Justru mereka memiliki semangat untuk terus berjuang dan mencapai apa yang mereka inginkan.

3. Keputusan yang diambil sebelum melakukan Free Solo, nyatanya tidak melalui jalan yang singkat. Ada banyak pertimbangan. Pengenalan medan. Sampai cara agar tetap mampu bertahan hingga berhasil mencapai puncaknya.

4. Menjalani hidup seperti yang Alex lakukan, memang berat. Dia tak memiliki keluarga yang melimpahkannya dengan kasih sayang, tak memiliki banyak teman. Namun, dia tetap hidup dan menjadikan kehidupannya berarti.

5. Dia tidak lelah untuk mencoba dan menghadapi rasa takutnya. Ketakutan terbesar Alex adalah mempertanyakan dirinya apakah Ia mampu mendaki El Capitan atau tidak.

Film dokumenter free solo


Informasi Film

Judul : Free Solo (2018) || Sutradara : Jimmy Chin, Elizabeth Chai Vasarhelyi || Tim : Alex Honnold, Tommy Caldwell, Jimmy Chin || Rilis : 14 December 2018 || Lokasi Film : Yosemite, California, USA || Production Co : Itinerant Films, Little Monster Films, National Geographic || Durasi : 100 menit || Nonton di National Geography Channel

Penutup

Menonton tayangan dokumenter seperti ini. Tentunya menguras segala emosi baik jiwa dan raga. Jiwa, karena saat Alex bercerita dengan wajah datarnya tentang kehidupan masa kecilnya. Mendatangkan rasa tidak tega dalam diri saya. Sementara itu, di lain sisi, raga saya ikut terkuras ketika tim kameramen ikut mempertanyakan apakah mereka akan berhasil merekam proses Alex selama Free Solo? Terutama, mereka takut jika nanti harus menyaksikan kematian mendadak akibat apa yang dikerjakan oleh Alex. Pun demikian dengan saya yang sempat merasa takut akan dihadapi oleh sesuatu yang menyakitkan.

Film dokumenter ini juga bisa ditonton di Disney Hotstar, ya.





Postingan Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung. Silakan tinggalkan komentar dengan bahasa yang baik ya. Untuk komentar dimoderasi ya.

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *