Film Siti Sebuah Gambaran Wanita Indonesia
Film Siti 2014. Namanya Siti, seorang perempuan dengan anak satu, Bagas namanya. Masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Keseharian Siti berjualan peyek dengan Bu Darmi, peyeknya bikin sendiri, masak sendiri. Siti punya suami, tapi suaminya hanya bisa tergeletak di atas tempat tidur, “laut yang memberi rezeki, tapi laut juga yang mengambilnya.” Konon demikian perkataan dari Bu Darmi, mertuanya Siti, Ibunya Bagus. Bagus itu nama suaminya Siti, yang teronggok di atas tempat tidur, tanpa suara yang keluar dari mulutnya.
Film yang disutradai oleh Eddie Cahyono ini mengambil lokasi di Jogja, tempat jualan Siti dan Bu Darmi di pantai parangtritis. Konon, film ini yang sebelum ditayangkan di layar lebar aka bioskop, sudah mendapat beragam penghargaan. Tahun 2014 ketika banyak orang membicarakan film Siti, saya masih belum tahu bagaimana, tapi banyak yang mengatakan film ini merupakan perwakilan dari wajah banyak perempuan Indonesia.
Rasa penasaran membawa saya untuk mencari cara bagaimana bisa menonton film ini. Meski bertahun-tahun lepas dari tahun 2014, dan baru tahun 2016 ini saya menonton film Siti melalui aplikasi Genflix. Berbekal menyewa film dengan biaya 25.000, saya berhasil menikmati film yang berdurasi 1 jam 28 menit ( dari video di genflix ).
Karoke Malam
Sekarang ini justru tempat karoke banyak bertebaran ya, banyak pengunjung baik Bapak, Ibu, Tante, Om bahkan anak dan remaja sudah sering mampir ke tempat karokean. Tapi, sayangnya, tidak begitu nasib Siti. Malam itu, tempat dia bekerja yaitu di sebuah tempat karoke malam digerebek polisi. Siti dan semua teman-temannya dipaksa keluar dari tempat karokean. Ini pula yang menjadi scene awal dari film Siti, seorang polisi tengah berteriak menyuruh orang-orang dari tiap ruangan untuk keluar.
Kalau tempat karoke malam itu ditutup, kemudian darimana lagi Siti harus mencari pekerjaan? Sulit pastinya, terlebih dengan kondisi yang dialami Siti. Tapi, tenang saja, tidak lama lagi tempat karoke yang menjadi tempat bekerja Siti bisa dibuka kembali. Dengan cara apa? DEMO.
Apakah Demonya itu menggunakan tindakan anarki? Coba saja dilihat bagaimana cara pakde mengatur semuanya.
Bagus Suaminya Siti
Kecintaannya pada laut membuat Bagus yang merupakan seorang nelayan memberanikan diri untuk membeli kapal. Di percakapan antara Siti dan Bagus, tampak bahwa Bagus benar-benar senang berada di laut, senang dengan pekerjaannya. Ketika mendapat ikan, melalui penerawangan masa lalunya Siti, Bagus tersenyum sambil disambut oleh Siti dan Bagas.
Tidak hanya itu, Bagus sering mengajak Bagas bermain di pantai, dekat laut. Bermain dekat dengan kapal mereka, hingga suatu ketika laut mengempas kapalnya dan dia terbaring di atas tempat tidur. Sudah hampir setahun, begitu juga dengan sikap diamnya Bagus terhadap Siti. Karena tidak setuju dengan keputusan Siti untuk bekerja.
Bagas Anaknya Siti
Anak kelas Satu SD ini pintar, cerdas, dia mengatakan kalau di sekolahnya ada Hantu yang sering mengganggunya sehingga dia malas pergi ke sekolah. Sampai-sampai untuk mandi saja, Bagus kejar-kejaran dengan sang Ibu karena tidak mau sekolah. Lucu memang, ketika dia bercerita kalau hantunya itu sering mengganggunya, Siti justru mengatakan pada Bagas, Kalau hantunya datang, kamu takuti lagi saja.
Tapi, ada cerita lucu, ketika Bagas sudah dibelikan seragam baru. Ternyata hantunya takut dengan Bagas sehingga tak lagi mengganggu. Saya berpikir apakah Bagas mengalami bully di tempat sekolahnya hanya karena seragamnya yang tidak baru? Entahlah, tidak dijelaskan sampai sejauh itu, hanya pemikiran saya saja.
Yang membuat sedih, Bagas tidak mau menemui bapaknya, dia bilang kalau Bapaknya beda, dia tak lagi mau bermain dengannya. Bahkan untuk menyapanya saja tidak mau, meski Siti berulang kali meminta Bagas untuk berpamitan sebelum sekolah pada Bapaknya. Tetap Bagas menolak. Dia tidak mau karena Bapaknya bahkan tidak berbicara dengannya juga.
Suatu ketika, Bagas yang menginginkan perhatian lebih dari sang Ibu, meminta untuk mengajarkannya matematika. Tapi, malam itu, Siti sudah harus segera pergi. Kemudian Bagas ngambek dan memutuskan untuk tidak mau belajar, alih-alih dia memilih nonton layar tancep di dekat rumahnya. Begitu pula ketika Bagas datang ke pantai parangtritis ketika Siti tengah berjualan, hanya karena Bagas ingin menagih janji dari Siti yang mau mengajaknya bermain layangan.
Bagas, sosok anak yang mewakili anak lainnya, harus mengorbankan keinginannya untuk bermain bersama orang tuanya. Pekerjaan membuat Siti harus bekerja keras demi menghidupi keluarganya. Mengganti peran suami juga tetap mengemban peran sebagai seorang Ibu. Sudah tidak asing sebenarnya sosok Siti. Kalau melihat banyak juga di lingkungan sekitar saya, lelaki yang memilih untuk di rumah, nongkrong di warung, tidak mengerjakan apa-apa, tapi istrinya bekerja keras di pasar, berdagang. Belum lagi ketika pulang masih harus memasak untuk suami dan anak, kemudian mengurus anaknya. Semua beban ditanggung oleh seorang makhluk manusia berjenis kelamin perempuan.
Tidak ada sindiran di sini, karena memang itu yang tampak banyak terlihat di sekitar saya. Terlilit hutang membuat Siti harus bekerja keras, pendapatan dari menjual peyek tidaklah cukup. Bahkan seringnya pendapatannya tidak mencukupi, sementara hutang suaminya Siti pada Pak Karyo masih setengahnya lagi, sebesar 5 juta rupiah.
Siapa yang berhutang tapi siapa pula yang harus membayarnya. Membuat saya kemudian teringat kembali dengan tetangga dekat saya, yang ditinggal meninggal oleh sang suami, tapi alih-alih meninggalkan warisan untuk mencukupi istri dan anaknya, justru sang suami meninggalkan hutang tanpa harta yang mencukupi. Siapa yang membayar? Istrinya, sudah barang tentu siapa lagi. Apakah keluarga suaminya membantu? Sejauh ini, seringnya ketika perceraian baik itu karena kematian atau karena keputusan pengadilan, membuat keluarga dari pihak suami akan serta merta angkat tangan. Memang demikian adanya yang terjadi, bukan mengada-ada.
Demikian juga dengan Siti, yang masih mengurus keluarganya, memandikan dan menyuapi sang suami yang bahkan tidak mau lagi berbicara dengannya. Masih bercerita dengan sang suami meski ditolak dan tak diinginkan lagi keberadaannya. Masih mencucikan bajunya, masih mengurus anaknya dengan totalitas. Masih menghadapi Pak Karyo yang menagih hutang. Jujur, sosok Siti banyak di Indonesia, di sekitar saya, yang membuat saya membuka mata tentang kehidupan perempuan yang harus menjadi seorang pahlawan bagi dirinya dan keluarganya.
Rumahnya Siti
Kalau mau mampir ke rumahnya Siti, cukup ucapkan salam saja, tidak perlu membuka sandal atau sepatu. Karena Siti itu sangat ramah apalagi Bu Darmi. Rumah tempat tinggal keluarganya Siti terbuka luas, saya melihatnya tidak ada pagar, tidak ada pintu, jendelanya hanya berupa kotak segi empat tanpa penutup. Dari depan sampai belakang tidak ada penutup pintu, tamu bebas mengintip saja dari luar. Kalaupun ada, bukan pintu tapi menyerupai palang terbuat dari bambu.
Ya memang, rumahnya Siti terbuat dari bambu, menyender pada batang pohon di sebelahnya. Di belakangnya sumur air yang dalam setia memberi air untuk sumber penghidupan. Tapi, harus ditimba terlebih dahulu sebelum digunakan. Siti tidak perlu repot mengepel rumah, kalau ditanya lantai itu merupakan keramik, berarti rumah Siti tidak berlantai. Itulah mengapa jika bertamu ke rumah Siti, tidak perlu repot-repot membuka sandal atau sepatu.
Keseharian Siti
Film ini dari awal sampai akhir memang berkisah kehidupan Siti. Yang tetap bisa menangis serta kesal dengan kondisi yang dia alami. Tetap pula mencoba untuk bisa marah meski harus dilatih oleh Sri, temannya. Sri sendiri bercerita, kalau dia juga harus menyembunyikan uang yang dia punya, kalau tidak? Nanti uangnya akan dibelikan burung oleh suaminya. Jadi, suaminya Sri juga sama, menggunakan uang istrinya untuk keperluan hobi sehari-harinya.
Apa Sri marah? Iya, marah. Tapi dia menunggu rumahnya kosong dahulu, baru dia marah. Dan Sri pula yang mengajari Siti agar mau melampiaskan amarahnya melalui suara teriakan yang tertahan oleh debur ombak di pantai parangtritis. Entah sudah berapa banyak pantai itu menyimpan teriakan tertahan yang tak mampu diutarakan langsung.
Pagi hari Siti akan sibuk di dapur, menjerang air, memasak peyek, memandikan Bagas, kemudian menyiapkan sarapan untuk Bagas. Setelah Bagas berangkat? Siti akan menyiapkan air hangat untuk ‘seko‘ tubuh suaminya yang tak bisa bergerak. Menggantikan bajunya, menyuapinya makan sambil terus mengajak suaminya itu berbincang meski tak pernah mendapat jawaban. Apakah dia tak bisa berbicara? Bisa, Bagus hanya tidak mau lagi berbicara dengan Siti.
Setelah itu apa? Siti dan Bu Darmi akan pergi berjualan peyek. Terus begitu sampai sore, kemudian menyiapkan makan malam untuk Bagas, menyuapi Bagus juga sampai akhirnya malam hari Siti bekerja di karoke. Lelah? Sudah pasti Siti lelah, tapi apa iya dengan dia bergantung dengan rasa lelahnya bisa membuat hutangnya terbayar? Itulah yang ditonjolkan dari Siti, sebuah pilihan untuk tetap menjadi perempuan yang menghadapi kehidupan dengan wajah tegak menghadap lurus ke depan.
Bukan tertunduk, menangis dan meminta-minta. Bukan. Siti bahkan sempat menolak pemberian dari Sri yang mengatakan bahwa uang itu adalah uang yang dahulu pernah dia pinjam dari Siti. Tidak meminta-minta dan tetap menjalani hidup.
Bohong kalau tidak ada konflik dalam kehidupannya. Bahkan kehidupan sehari-harinya merupakan kumpulan konflik yang meminta untuk diselesaikan. Film yang memang disengajakan hanya berwarna hitam putih ini justru semakin menonjolkan sisi dramatis kehidupan Siti sehari-harinya. Penonton bisa memfokuskan pada bagaimana ekspresi Siti, bagaimana sikap tokoh-tokohnya, bagaimana pergulatan batin setiap tokohnya yang justru diwakili dengan begitu sempurna melalui setiap ekspresi atau dialog.
Seperti ketika Siti sedang dandan hendak berangkat kerja, di belakangnya Bagus justru meliriknya tanpa kata, ada ucap yang tertahan dalam kerongkongannya. Ada asa yang sudah pupus sebelum merekah menjadi impian. Atau ketika sang Ibu, Bu Darmi yang tak lagi bisa berkata-kata, dengan tulus hanya mampu mengucap terima kasih pada Siti. Namun, tampak di wajahya guratan haru yang ditahan.
Penutup
Menonton film ini, singkat tapi banyak hal yang disampaikan. Tentang kenyataan yang sebenarnya sudah disadari oleh banyak orang, tapi hanya sekadar diketahui, tidak juga banyak yang bertindak. Tidak banyak, bukan berarti tidak ada sama sekali, karena saya tahu banyak Ibu-Ibu yang menginspirasi melalui usaha mereka memberdayakan perempuan agar mampu berdiri dengan kaki mereka sendiri tanpa berpangku tangan. Siti, sebuah perwakilan akan wajah perempuan Indonesia yang memiliki keterbatasan ruang gerak, tapi masih mampu mengikuti alur gerak kehidupan yang ditawarkan padanya.
Film ini akan memberikan pembaca sebuah waktu untuk melepaskan diri dari asumsi, Benar atau Salah. Penonton akan diajak untuk menguak alasan demi alasan dalam kehidupan seseorang sebelum menjatuhkan penilaian. Demikianlah, sebuah film yang sederhana dengan modal seadanya tapi mampu menunjukkan keistimewaannya, seperti Siti yang istimewa dengan apa adanya.
Selamat menonton. Terima kasih.